Senin, 17 Mei 2010

PEMIDANAAN DAN PERCOBAAN

Pemidanaan

a. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan :

Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Konsep dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”.*) Dirumuskan-nya hal ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa :

- sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang ber-tujuan (“purposive system”) dan pidana hanya merupakan alat/ sarana untuk mencapai tujuan;

- Dalam Literatur berbahasa inggris tujuan pidana bisa disingkat dengan tiga R dan satu D. Tiga R itu ialah Reformation, Restraint dan Restribution, sedangkan satu D ialah Deterrence yang terdiri atas individual deterrence dan general deterrence (pencegahan khusus & pencegahan umum)[1].

a. Reformation berarti memperbaiki atau merehabitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Maksudnya Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tiada seorang pun yang merugi jika penjahat menjadi baik.

b. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggaran hukum dari dari masyarakat itu akan menjadi lebih aman.

c. Retribution berarti pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan.

d. Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan.

- “tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub-sistem) dari ke-seluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum pidana) di samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-sistem “tindak pidana”, “pertang-gungjawaban pidana (kesalahan)”, dan “pidana”;

- perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan se-bagai fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus mem-berikan dasar/landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifi-kasi pemidanaan;

- dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan meru-pakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebi-jakan legislatif), tahap “aplikasi” (kebijakan judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan administratif/eksekutif); oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumus-an tujuan dan pedoman pemidanaan.

tujuan pemidanaan, maka muncullah teori-teori mengenai hal tersebut. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana[2] :

a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergelding theorien)

Tujuan pidana bukanlah untuk memperbaiki penjahat. Tidak perlu memikirkan manfaat dari pidana itu. Hakikat utamanya adalah pembalasan. Teori ini muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat katolik dan sudah tentu juga sarjana hukum islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran kisas dalam Al-quran.

b. Teori relatif atau tujuan (doeltheorien)

Tujuan pidana adalah untuk mencegah penjahat lainnya melakukan kejahatan (prevensi umum) dan mencegah penjahat mengulangi perbuatannya (prevensi khusus).

c. Teori gabungan (verenigingstheorien)

Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.

b. Ide-ide Dasar Sistem Pemidanaan :

Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep, dila-tarbelakangi oleh berbagai ide-dasar atau prinsip-prinsip sbb. :

a. ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyara-kat (umum) dan kepentingan individu;

b. ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defen-ce”;

c. ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku/ “offender” (individualisasi pidana) dan “victim” (korban);

d. ide penggunaan “double track system” (antara pidana/punish-ment dengan tindakan/treatment/measures);

e. ide mengefektifkan “non custodial measures (alternatives to imprisonment)”.

f. Ide elastisitas/fleksibilitas pemidanaan (“elasticity/flexibility of sentencing”);

g. Ide modifikasi/perubahan/penyesuaian pidana (“modification of sanction”; the alteration/annulment/revocation of sanction”; “re-determining of punishment”);

h. Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana;

i. Ide permaafan hakim (“rechterlijk pardon”/”judicial pardon”);

j. Ide mendahulukan/mengutamakan keadilan dari kepastian hu-kum;

Bertolak dari ide-ide dasar itu, maka di dalam Konsep ada ketentutuan-ketentuan yang tidak ada dalam KUHP (WvS) yang berlaku saat ini, yaitu antara lain :

1. adanya pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas) yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict liability” dan “vicarious liability” (Pasal 35);

2. adanya batas usia pertanggungajawaban pidana anak (“the age of criminal responsibility”); Pasal 46.

3. adanya bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak (Bab III Bagian Keempat);

4. adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana terhadap anak (asas diversi), Pasal 111;

5. adanya pidana mati bersyarat (Pasal 86);

6. dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat (Pasal 67 jo. 69);

7. adanya pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pe-menuhan kewajiban adat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup (Pasal 62 jo 64);

8. adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturan/pe-doman pemidanaannya atau penerapannya (Pasal 66, 82, 120, 121, 130, 137);

9. dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan);

10. dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri (Pasal 64 ayat 2);

11. dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam perumusan delik yang hanya diancam dengan pida-na tunggal (Pasal 56-57);

12. dimungkinkannya hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif wa-laupun ancaman pidana dirumuskan secara alternatif (Pasal 58);

13. dimungkinkannya hakim memberi maaf/pengampunan (“rechterlijk pardon”) tanpa menjatuhkan pidana/tindakan apapun kepada terdak-wa, sekalipun telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan (Pasal 52 ayat 2).

14. adanya kewenangan hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan/ memidana si pelaku walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut (dikenal dengan asas “culpa in causa” atau asas “actio libera in causa); Pasal 54 *)

15. dimungkinkannya perubahan/modifikasi putusan pemidanaan, wa-laupun sudah berkekuatan tetap (Pasal 55 dan Pasal 2 ayat 3);

POGING (PERCOBAAN) [3]

•“Permulaan kejahatan yang belum selesai”

•Poging bukan suatu delik, tetapi poging dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang

•Poging adalah perluasan pengertian delik

•Suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang sebab perbuatan itu melanggar kepentingan hukum atau membahayakan kepentingan hukum

•KUHP tidak memberi perumusan/ definisi

•Harus diketahui kapan suatu delik dianggap selesai

•Delik selesai berbeda antara delik formil dan delik materiil

•Pada delik formil : delik selesai apabila perbuatan yang dilarang telah dilakukan

•Pada delik materiil : delik selesai apabila akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang telah timbul atau terjadi

Khususnya mengenai bentuk/tahapan tindak pidana yang berupa “percobaan”, ketentuan yang diatur tidak hanya mengenai unsur-unsur (kapan) dapat dipidananya “percobaan”, tetapi diatur juga tentang batasan “perbuatan pelaksanaan”, masalah “percobaan tidak mampu”, masalah “pengunduran diri secara sukarela (Rücktritt)” dan “tindakan penyesalan (Tätiger Reue)”. Adapun ketentuan umumnya sbb. :

· Untuk percobaan tidak mampu (alat/objeknya) tetap dipidana, tetapi maksimum pidananya dikurangi setengah (Pasal 19);

· Untuk percobaan tidak selesai karena Rücktritt (pengunduran diri secara sukarela), tidak dipidana (Psl. 17 ayat 1);

Untuk percobaan tidak selesai karena Tätiger Reue :

· tidak dipidana, apabila pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya (Pasal 17 ayat 2);

· tetap dipidana, apabila telah menimbulkan kerugian atau me-nurut peraturan perundang‑undangan telah merupakan tin-dak pidana tersendiri (Pasal 17 ayat 3).

Percobaan Menurut KUHP:

•Percobaan sebagai Suatu Delik yang Telah Selesai (voltooid delict)

•Percobaan Melakukan Tindak Pidana yang Tidak Dilarang

•Percobaan Melakukan Pelanggaran

•Percobaan terhadap Delik Kealpaan

Percobaan sebagai Suatu Delik yang Telah Selesai (voltooid delict)

•Pasal 104-107, 139a dan 139b KUHP

•Pasal 110, 116, 125, 139c KUHP

•Pasal 250, 261, 275 KUHP

Percobaan Melakukan Tindak Pidana yang Tidak Dilarang

1.Pasal 184 KUHP)

2.Pasal 351 ayat 5 dan 352 ayat 2 KUHP

3.Pasal 302 ayat 4 KUHP)

Percobaan Menurut Doktrin

Percobaan yg Sempurna : Voleindigde Poging --> apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan semua perbuatan yg diperlukan bagi selesainya kejahatan, tetapi kejahatan tidak selesai karena suatu hal

•Percobaan yg Tertangguh : Geschorte Poging --> apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan beberapa perbuatan yg diperlukan bagi tercapainya kejahatan, tetapi kurang satu perbuatan ia terhalang oleh suatu hal

Percobaan yg Tidak Sempurna : Ondeugdelijke Poging --> apabila seseorang berkehendak melakukan suatu kejahatan, dimana ia telah melakukan semua perbuatan yg diperlukan bagi selesainya kejahatan, namun tidak berhasil disebabkan alat (sarana) tidak sempurna atau obyek (sasaran) tidak sempurna

Syarat Percobaan yg dapat dipidana

•Niat

•Permulaan Pelaksanaan

•Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri

NIAT “Voornemen”

•Menurut doktrin dan yurisprudensi :”voornemen” harus ditafsirkan sebagai kehendak, “willen” atau “opzet”

•Seseorang harus mempunyai kehendak, yaitu kehendak melakukan kejahatan

•Karena ada 3 macam opzet, apakah opzet di sini harus dtafsirkan dalam arti luas atau hanya opzet dalam arti pertama (sebagai “ogmerk” atau tujuan) ?

Permulaan Pelaksanaan

•“Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan pelaksanaanà een begin van uitvoering

•Harus ada suatu perbuatan(handeling)

•apa yang dimaksud “perbuatan sebagai permulaan pelaksanaan” ?

•Undang-undang tidak merumuskan pelaksanaan atau”uitvoering” dan bagaimana bentuknya

•Perlu digunakan penafsiran

Pelaksanaan Kehendak atau Pelaksanaan Kejahatan

•Secara gramatika, harus dihubungkan dengan kata yang mendahuluinya yaitu “voornemen”/ niat/kehendak à Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan pelaksanaan. Jadi : pelaksanaan itu ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kehendak” à TEORI POGING SUBYEKTIF

•Tetapi, jika dihubungkan dengan anak kalimat berikutnya “… tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” maka secara sistematis maka ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kejahatan” à TEORI POGING OBYEKTIF

MANA YANG MERUPAKAN PELAKSANAAN ? APAKAH TIAP2 PERBUATAN DALAM KASUS TSB DAPAT DIHUKUM ?

•1. Menurut Teori Poging Subyektif : perbuatan a sudah merupakan “permulaan pelaksanaan” karena telah menunjukkan “kehendak yang jahat”

•2. Menurut Teori Poging Obyektif : perbuatan a à f belum merupakan “permulaan pelaksanaan” karena semua perbuatan itu “belum membahayakan kepentingan hukum si B



*) Beberapa negara yang di dalam KUHP-nya juga merumuskan “tujuan pidana/pemidanaan”, antara lain : Armenia (Psl. 48 jo. Psl. 2 dan 11), Bellarus (Psl. 20 jo. Psl. 1), Bulgaria (Psl. 36), Latvia (Psl. 35), Macedonia (Psl. 32), Romania (Psl. 52), dan Yugoslavia (Psl. 33).

[1] Andi Hamzah, Op.Cit., hal.28.

[2] Ibid., hal. 31.

*) Di dalam RUU 2004, redaksi Psl. 54 terdapat juga dalam Pasal 37 dan 53. Seharusnya hanya Pasal 54 saja (lihat Tabel Lampiran).

[3] Topo Santoso, Hukum Pidana, ww.pdf-search-engine.com/hukum.../HUKUMPIDANA1.html 12 Febuari 2009

CONTEMPT OF COURT

KEBUTUHAN UU CONTEMPT OF COURT di INDONESIA

Istilah Contempt of Court di Indonesia pertama kali ditemukan dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4. Dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 diisyaratkan perlu dibuat suatu Undang-undang yang mengatur tentang ancaman hukuman dan penindakan pemidanaan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan pejabat peradilan.

Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tersebut, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) No: M. 03-PR’08.05 Tahun 1987 Tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum. Dengan terbitnya SKB ini, maka tujuan pembuat UU No. 14 Tahun 1985 itu telah dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan yang diharapkan, yaitu dituangkan dalam bentuk undang-undang. SKB ini hanya mengatur Contempt of Court yang dilakukan oleh penasihat hukum saja.

Peradilan atau pengadilan adalah sebuah institusi yang penting dan terhormat dalam proses penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Penting, karena bertugas untuk menegakkan hukum yang diharapkan selaras dengan keadilan. Terhormat, karena diisi oleh orang-orang yang dipercaya dapat menjamin penegakan hukum. Namun belakangan wibawa institusi ini menjadi pudar, bersamaan dengan perilaku-perilaku oknum-oknum peradilan yang menyelewengkan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Penyelewengan ini dapat berupa Kolusi sampai Korupsi. Disamping kewibawaan peradilan jatuh karena penyelewengan tersebut, juga karena sumber daya manusianya yang tidak berkembang dan terasa tertinggal dari kebutuhan akan semakin kompleksnya permasalahan hukum yang ada.

Terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang Rechtpleging, yaitu kejahatan terhadap terhadap pengadilan dan instansi pemerintah yang lain.

Berikut adalah beberapa kejahatan yang termasuk kejahatan terhadap pengadilan dalam KUHP dan KUHAP;

MENURUT KUHP

Pasal dalam KUHP yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan Contempt of Court

1. Pasal 209 : memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

2. Pasal 210 : memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim, penasihat atau adviseur

3. Pasal 211 : memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan yang sah.

4. Pasal 212 : melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah

5. Pasal 216 : tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu

6. Pasal 217 : menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan

7. Pasal 224 : sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban

8. Pasal 233 : Merusak/menghilangkan barang bukti

Pasal dalam KUHP yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan Contempt of Court, yang dapat dikenakan kepada pers :

1. Pasal 207 : lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia

2. Pasal 208 : menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum suatu tulisan atau lukian yang memuat penghinaan terhadap suatu penguasa atau badan umum

MENURUT KUHAP

Pasal dalam KUHAP yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan Contempt of Court

Pasal 217

(1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan.

(2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat.

Pasal 218

(1) Dalam ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.

(2) Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak mentaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang.

(3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya.

Penjelasan:

Tugas pengadilan luhur sifatnya, karena tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, sesama manusia dan dirinya, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, setiap orang wajib menghormati martabat lembaga ini, khususnya bagi mereka yang berada di ruang sidang sewaktu persidangan sedang berlangsung bersikap hormat secara wajar dan sopan serta tingkah laku yang tidak menyebabkan kegaduhan atau terhalangnya persidangan.

Sikap pesimis sering dirasakan oleh masyarakat terhadap kemampuan peradilan dalam melakukan tugas dan fungsinya dalam penegakan hukum dan keadilan. Sikap ini akhirnya bermuara pada tindakan-tindakan pelecehan terhadap peradilan terutama terhadap Hakim sebagai bagian terpentingnya.

Hakim oleh UU 8/1981 tentang KUHAP diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan memelihara tata tertib sidang, seperti diatur dalam Pasal 217 ayat 1 dan 2. Peserta sidang diwajibkan untuk menunjukkan sikap hormat dan mentaati tata tertib di pengadilan, yang tersirat dalam Pasal 218 ayat 1 dan 2. Pihak-pihak yang bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak mentaati tata tertib kepadanya akan menerima peringatan sampai pada penuntutan (ayat 3 Pasal 218).

Sikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak mentaati tata terib di pengadilan (sidang) dapat disebut sebagai ?merendahkan (pelecehan; istilah penulis)? martabat pengadilan. Ketentuan di atas dapat diintepretasikan sebagai sikap-sikap pelecehan di saat sidang pengadilan berlangsung, sedangkan pelecehan dapat dilakukan baik di dalam sidang maupun di luar sidang.

Berdasarkan kasus-kasus yang pernah terjadi baik di dalam maupun luar negeri, pelecehan martabat pengadilan dapat dikelompokkan menjadi: 1. pelecehan secara langsung maupun tidak langsung; 2. pelecehan fisik maupun non fisik.

1. Pelecehan secara langsung adalah pelecehan yang dilakukan didalam ruang sidang atau disaat Hakim memimpin proses persidangan. Sedangkan pelecehan secara tidak langsung adalah pelecehan yang dilakukan diluar ruang sidang, namun tertuju pada suatu proses peradilan ataupun kepada Hakim yang ikut dalam suatu acara peradilan.

2. Pelecehan secara fisik dapat berupa penganiayaan, pelemparan benda, perkelahian, pembunuhan terdakwa dalam persidangan, pengancaman, atau penghadangan saksi. Ada pula nonfisik, seperti memaki-maki hakim, menghujat, demonstrasi dan gaduh dalam ruang sidang, atau meninggalkan ruang persidangan.

Pihak-pihak yang dapat melakukan pelecehan terhadap peradilan bisa berasal dari dalam sidang peradilan sendiri ataupun diluar sidang peradilan. Pihak di dalam sidang peradilan diantaranya, penasehat hukum, terdakwa, saksi, jaksa, ataupun pihak yang hadir secara langsung di persidangan. Pihak di luar sidang diantaranya dapat berasal dari pers atau media massa, masyarakat umum, pemerhati hukum, ataupun intervensi dari pejabat atau lembaga di luar lembaga peradilan yang berwenang.

Walaupun banyak kasus pelecehan martabat pengadilan telah terjadi, namun sangat jarang ditemukan pelakunya yang dijatuhi hukuman, hal ini dapat disebabkan oleh ketiadaan ketentuan hukum tertulis yang mengaturnya. Untuk mencegah terjadinya pelecehan ataupun untuk menekan berulangnya pelecehan terhadap peradilan, maka dibutuhkan ketentuan perundang-undangan yang khusus mengaturnya.

Pelecehan atau merendahkan martabat pengadilan ini sering disebut juga Contempt of Court. Istilah ini dalam ketentuan hukum Indonesia dapat ditemukan pada Penjelasan UU 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Pembentukan UU tentang Contempt of Court telah diamanatkan oleh Penjelasan UU 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam ketentuan itu disebutkan:

Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu Undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court.

Beberapa hal yang perlu diatur dalam Naskah UU tentang Contempt of Court diantaranya:

I. Definisi secara tegas dan rinci tentang Contempt of Court?.

II. Pihak-pihak atau proses yang dapat dimasukkan ke dalam pengertian Peradilan? atau Pengadilan?.

I. Pengertian Contempt of Court atau merendahkan martabat pengadilan belum diatur secara tegas. Namun berdasarkan ketentuan Penjelasan UU 14/1985 secara tidak langsung MA telah memberikan batasan pengertian tentang Contempt of Court, yaitu: perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan?.

Kemudian dengan dasar ketentuan di atas MA telah menyusun sebuah naskah akademis yang menyatakan:

ada lima perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai penghinaan atau pelecehan terhadap pengadilan. Kelima perbuatan itu adalah: (i) Berprilaku tercela dan tidak pantas (misbehaving in court); (ii) Tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (disobeying court ordersi); (iii) Menyerang integritas dan impartilitas pengadilan (scandalising the court); (iv) Menghalang-halangi jalannya penyelenggaraan pengadilan (obstructing justice); dan (v) Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan yang dilakukan dengan publikasi atau pemberitahuan (subjudice rule).

Jadi berdasarkan naskah akademis MA, perbuatan-perbuatan yang termasuk pelecehan martabat pengadilan adalah:

1. Berprilaku tercela dan tidak pantas (misbehaving in court);

Perilaku ini dilakukan di dalam sidang, pada saat pemeriksaan oleh hakim berlangsung. Contoh: mengeluarkan kata-kata, sikap dan tingkah laku yang tidak sopan.

2. Tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (disobeying court ordersi);

Dapat dilakukan di dalam sidang maupun di luar sidang atau setelah keputusan dibacakan. Contoh: Pelanggaran terhadap perintah pengadilan untuk menjaga jarak atau menjauhi suatu obyek tertentu, baik manusia maupun tempat tertentu.

3. Menyerang integritas dan impartilitas pengadilan (scandalising the court);

Dapat dilakukan di dalam sidang maupun di luar sidang pengadilan.

Contoh : Tanpa bukti yang cukup, pihak tertentu menuduh bahwa pengadilan telah tidak adil atau diskriminasi atau memihak salah satu pihak yang berseberangan (tergugat dan penggugat; terdakwa atau penuntut).

4. Menghalang-halangi jalannya penyelenggaraan pengadilan (obstructing justice);

Suatu pihak tertentu dengan sistematis mengatur agar penyelenggaraan suatu pengadilan menjadi tertunda ataupun batal.

Contoh: Mengatur dengan pihak medis atau pihak lainnya untuk memberikan data kesehatan palsu atau tidak sesuai kenyataannya, sehingga terdakwa dikatakan tidak bisa mengikuti persidangan, yang menyebabkan proses pengadilan menjadi tertunda atau gagal.

5. Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan yang dilakukan dengan publikasi atau pemberitahuan (subjudice rule).

Pengunaan media publikasi atau secara sengaja memberitahukan kepada media publikasi dengan maksud menghina pengadilan.

Contoh: Ketidakpuasan kepada putusan pengadilan diungkapkan dengan cara mempublikasikan kepada pihak umum dengan memberikan dasar-dasar atau alasan sepihak, yang dapat dikategorikan sebagai penghinaan.

Ketidakpuasan kepada jalannya peradilan atau terhadap kepemimpinan hakim, hendaknya dilakukan dengan cara yang benar dan sopan.

II. Pihak-pihak yang disebut sebagai pengadilan, diantaranya: Hakim atau Majelis Hakim yang berwenang di peradilan, Panitera pengadilan, Institusi pengadilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung), dan Pihak-pihak yang membantu pengadilan dalam melakukan tugas dan fungsinya.

Rekomendasi

Pembentukan UU Contempt of Court hendaknya disamping menyerap inspirasi dari para hakim, juga harus mendengarkan usul dan saran dari masyarakat umum, pers dan pemerhati hukum.