Senin, 17 Mei 2010

PEMIDANAAN DAN PERCOBAAN

Pemidanaan

a. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan :

Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Konsep dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”.*) Dirumuskan-nya hal ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa :

- sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang ber-tujuan (“purposive system”) dan pidana hanya merupakan alat/ sarana untuk mencapai tujuan;

- Dalam Literatur berbahasa inggris tujuan pidana bisa disingkat dengan tiga R dan satu D. Tiga R itu ialah Reformation, Restraint dan Restribution, sedangkan satu D ialah Deterrence yang terdiri atas individual deterrence dan general deterrence (pencegahan khusus & pencegahan umum)[1].

a. Reformation berarti memperbaiki atau merehabitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Maksudnya Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tiada seorang pun yang merugi jika penjahat menjadi baik.

b. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggaran hukum dari dari masyarakat itu akan menjadi lebih aman.

c. Retribution berarti pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan.

d. Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan.

- “tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub-sistem) dari ke-seluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum pidana) di samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-sistem “tindak pidana”, “pertang-gungjawaban pidana (kesalahan)”, dan “pidana”;

- perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan se-bagai fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus mem-berikan dasar/landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifi-kasi pemidanaan;

- dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan meru-pakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebi-jakan legislatif), tahap “aplikasi” (kebijakan judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan administratif/eksekutif); oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumus-an tujuan dan pedoman pemidanaan.

tujuan pemidanaan, maka muncullah teori-teori mengenai hal tersebut. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana[2] :

a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergelding theorien)

Tujuan pidana bukanlah untuk memperbaiki penjahat. Tidak perlu memikirkan manfaat dari pidana itu. Hakikat utamanya adalah pembalasan. Teori ini muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat katolik dan sudah tentu juga sarjana hukum islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran kisas dalam Al-quran.

b. Teori relatif atau tujuan (doeltheorien)

Tujuan pidana adalah untuk mencegah penjahat lainnya melakukan kejahatan (prevensi umum) dan mencegah penjahat mengulangi perbuatannya (prevensi khusus).

c. Teori gabungan (verenigingstheorien)

Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.

b. Ide-ide Dasar Sistem Pemidanaan :

Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep, dila-tarbelakangi oleh berbagai ide-dasar atau prinsip-prinsip sbb. :

a. ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyara-kat (umum) dan kepentingan individu;

b. ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defen-ce”;

c. ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku/ “offender” (individualisasi pidana) dan “victim” (korban);

d. ide penggunaan “double track system” (antara pidana/punish-ment dengan tindakan/treatment/measures);

e. ide mengefektifkan “non custodial measures (alternatives to imprisonment)”.

f. Ide elastisitas/fleksibilitas pemidanaan (“elasticity/flexibility of sentencing”);

g. Ide modifikasi/perubahan/penyesuaian pidana (“modification of sanction”; the alteration/annulment/revocation of sanction”; “re-determining of punishment”);

h. Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana;

i. Ide permaafan hakim (“rechterlijk pardon”/”judicial pardon”);

j. Ide mendahulukan/mengutamakan keadilan dari kepastian hu-kum;

Bertolak dari ide-ide dasar itu, maka di dalam Konsep ada ketentutuan-ketentuan yang tidak ada dalam KUHP (WvS) yang berlaku saat ini, yaitu antara lain :

1. adanya pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas) yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict liability” dan “vicarious liability” (Pasal 35);

2. adanya batas usia pertanggungajawaban pidana anak (“the age of criminal responsibility”); Pasal 46.

3. adanya bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak (Bab III Bagian Keempat);

4. adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana terhadap anak (asas diversi), Pasal 111;

5. adanya pidana mati bersyarat (Pasal 86);

6. dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat (Pasal 67 jo. 69);

7. adanya pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pe-menuhan kewajiban adat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup (Pasal 62 jo 64);

8. adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturan/pe-doman pemidanaannya atau penerapannya (Pasal 66, 82, 120, 121, 130, 137);

9. dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan);

10. dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri (Pasal 64 ayat 2);

11. dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam perumusan delik yang hanya diancam dengan pida-na tunggal (Pasal 56-57);

12. dimungkinkannya hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif wa-laupun ancaman pidana dirumuskan secara alternatif (Pasal 58);

13. dimungkinkannya hakim memberi maaf/pengampunan (“rechterlijk pardon”) tanpa menjatuhkan pidana/tindakan apapun kepada terdak-wa, sekalipun telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan (Pasal 52 ayat 2).

14. adanya kewenangan hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan/ memidana si pelaku walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut (dikenal dengan asas “culpa in causa” atau asas “actio libera in causa); Pasal 54 *)

15. dimungkinkannya perubahan/modifikasi putusan pemidanaan, wa-laupun sudah berkekuatan tetap (Pasal 55 dan Pasal 2 ayat 3);

POGING (PERCOBAAN) [3]

•“Permulaan kejahatan yang belum selesai”

•Poging bukan suatu delik, tetapi poging dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang

•Poging adalah perluasan pengertian delik

•Suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang sebab perbuatan itu melanggar kepentingan hukum atau membahayakan kepentingan hukum

•KUHP tidak memberi perumusan/ definisi

•Harus diketahui kapan suatu delik dianggap selesai

•Delik selesai berbeda antara delik formil dan delik materiil

•Pada delik formil : delik selesai apabila perbuatan yang dilarang telah dilakukan

•Pada delik materiil : delik selesai apabila akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang telah timbul atau terjadi

Khususnya mengenai bentuk/tahapan tindak pidana yang berupa “percobaan”, ketentuan yang diatur tidak hanya mengenai unsur-unsur (kapan) dapat dipidananya “percobaan”, tetapi diatur juga tentang batasan “perbuatan pelaksanaan”, masalah “percobaan tidak mampu”, masalah “pengunduran diri secara sukarela (Rücktritt)” dan “tindakan penyesalan (Tätiger Reue)”. Adapun ketentuan umumnya sbb. :

· Untuk percobaan tidak mampu (alat/objeknya) tetap dipidana, tetapi maksimum pidananya dikurangi setengah (Pasal 19);

· Untuk percobaan tidak selesai karena Rücktritt (pengunduran diri secara sukarela), tidak dipidana (Psl. 17 ayat 1);

Untuk percobaan tidak selesai karena Tätiger Reue :

· tidak dipidana, apabila pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya (Pasal 17 ayat 2);

· tetap dipidana, apabila telah menimbulkan kerugian atau me-nurut peraturan perundang‑undangan telah merupakan tin-dak pidana tersendiri (Pasal 17 ayat 3).

Percobaan Menurut KUHP:

•Percobaan sebagai Suatu Delik yang Telah Selesai (voltooid delict)

•Percobaan Melakukan Tindak Pidana yang Tidak Dilarang

•Percobaan Melakukan Pelanggaran

•Percobaan terhadap Delik Kealpaan

Percobaan sebagai Suatu Delik yang Telah Selesai (voltooid delict)

•Pasal 104-107, 139a dan 139b KUHP

•Pasal 110, 116, 125, 139c KUHP

•Pasal 250, 261, 275 KUHP

Percobaan Melakukan Tindak Pidana yang Tidak Dilarang

1.Pasal 184 KUHP)

2.Pasal 351 ayat 5 dan 352 ayat 2 KUHP

3.Pasal 302 ayat 4 KUHP)

Percobaan Menurut Doktrin

Percobaan yg Sempurna : Voleindigde Poging --> apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan semua perbuatan yg diperlukan bagi selesainya kejahatan, tetapi kejahatan tidak selesai karena suatu hal

•Percobaan yg Tertangguh : Geschorte Poging --> apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan beberapa perbuatan yg diperlukan bagi tercapainya kejahatan, tetapi kurang satu perbuatan ia terhalang oleh suatu hal

Percobaan yg Tidak Sempurna : Ondeugdelijke Poging --> apabila seseorang berkehendak melakukan suatu kejahatan, dimana ia telah melakukan semua perbuatan yg diperlukan bagi selesainya kejahatan, namun tidak berhasil disebabkan alat (sarana) tidak sempurna atau obyek (sasaran) tidak sempurna

Syarat Percobaan yg dapat dipidana

•Niat

•Permulaan Pelaksanaan

•Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri

NIAT “Voornemen”

•Menurut doktrin dan yurisprudensi :”voornemen” harus ditafsirkan sebagai kehendak, “willen” atau “opzet”

•Seseorang harus mempunyai kehendak, yaitu kehendak melakukan kejahatan

•Karena ada 3 macam opzet, apakah opzet di sini harus dtafsirkan dalam arti luas atau hanya opzet dalam arti pertama (sebagai “ogmerk” atau tujuan) ?

Permulaan Pelaksanaan

•“Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan pelaksanaanà een begin van uitvoering

•Harus ada suatu perbuatan(handeling)

•apa yang dimaksud “perbuatan sebagai permulaan pelaksanaan” ?

•Undang-undang tidak merumuskan pelaksanaan atau”uitvoering” dan bagaimana bentuknya

•Perlu digunakan penafsiran

Pelaksanaan Kehendak atau Pelaksanaan Kejahatan

•Secara gramatika, harus dihubungkan dengan kata yang mendahuluinya yaitu “voornemen”/ niat/kehendak à Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan pelaksanaan. Jadi : pelaksanaan itu ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kehendak” à TEORI POGING SUBYEKTIF

•Tetapi, jika dihubungkan dengan anak kalimat berikutnya “… tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” maka secara sistematis maka ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kejahatan” à TEORI POGING OBYEKTIF

MANA YANG MERUPAKAN PELAKSANAAN ? APAKAH TIAP2 PERBUATAN DALAM KASUS TSB DAPAT DIHUKUM ?

•1. Menurut Teori Poging Subyektif : perbuatan a sudah merupakan “permulaan pelaksanaan” karena telah menunjukkan “kehendak yang jahat”

•2. Menurut Teori Poging Obyektif : perbuatan a à f belum merupakan “permulaan pelaksanaan” karena semua perbuatan itu “belum membahayakan kepentingan hukum si B



*) Beberapa negara yang di dalam KUHP-nya juga merumuskan “tujuan pidana/pemidanaan”, antara lain : Armenia (Psl. 48 jo. Psl. 2 dan 11), Bellarus (Psl. 20 jo. Psl. 1), Bulgaria (Psl. 36), Latvia (Psl. 35), Macedonia (Psl. 32), Romania (Psl. 52), dan Yugoslavia (Psl. 33).

[1] Andi Hamzah, Op.Cit., hal.28.

[2] Ibid., hal. 31.

*) Di dalam RUU 2004, redaksi Psl. 54 terdapat juga dalam Pasal 37 dan 53. Seharusnya hanya Pasal 54 saja (lihat Tabel Lampiran).

[3] Topo Santoso, Hukum Pidana, ww.pdf-search-engine.com/hukum.../HUKUMPIDANA1.html 12 Febuari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar